
Perkawinan adalah merupakan suatu hal yang sakral, agung dan mulia bagi kehidupan manusia agar kehidupannya bahagia lahir dan batin serta damai dalam mewujudkan rasa kasih sayang diantara keduanya. Karena perkawinan itu bukan saja sekedar pemenuhan kebutuhan biologis semata-mata, tetapi juga merupakan “sumber” kebahagiaan.
Didalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dinyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum tertulis masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Suku Tolaki yang mendiami daratan Sulawesi Tenggara yang dahulunya terdiri dari: Kerajaan Mekongga kini meliputi wilayah Kabupaten Kolaka dan sekitarnya dan kerajaan Konawe kini wilayah Kabupaten Konawe Selatan, Konawe Utara dan Kota Kendari. Masyarakat adat ini memandang perkawinan sebagai lambang untuk meneruskan keturunan, mempertautkan silsilah dan kedudukan sosial yang bersangkutan. Disamping itu, adakalanya suatu perkawinan adat merupakan sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang retak.
Ciri Khas Perkawinan Adat Tolaki
Suku Tolaki selalu menggunakan benda adat Kalosara dalam setiap prosesi acara upacara adat perkawinan. Kalosara adalah benda yang terbuat dari tiga utas rotan yang masing-masing sama besarnya dipilin melingkar dalam satu simpul yang beralaskan kain putih dan anyaman. Bagi orang Tolaki Kalosara dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan. Dimana hal ini telah menjadi kesepakatan bersama sejak nenek moyang untuk dipatuhi dan dihargai. Bagi suku Tolaki, Kalosara menjadi penghubung ditiap ikatan yang terjalin, baik antara manusia dan manusia, maupun antara manusia dengan Tuhan yang satu ataupun hubungan manusia dengan alam semesta.

Adapun perkawinan Adat Tolaki memiliki istilah ialah, Medulu yang artinya berkumpul, bersatu, dan Mesanggina yang berarti bersama dalam satu piring,” sedangkan istilah yang paling umum dalam masyarakat adat Tolaki adalah Merapu atau Perapua yang berarti Merapu, keberadaan suami, istri anak-anak, mertua, paman, bibi, ipar, sepupu, kakek, nenek, dan cucu adalah merupakan suatu pohon yang rimbun dan rindang, (A. Tarimana 1984).
Selain pengertian perkawinan diatas ada lima atau tahapan prosesi acara upacara Adat perkawinan Tolaki Pertama, ”Metiro atau Menggolupe” yang artinya mengintip meyelidiki calon istri. Kedua, ”Mondutudu” yang artinya malamar jajakan. Ketiga, ”Melosoako” yang artinya melamar sesungguhnya. Keempat, ”Mondonggo Niwule” yang artinya meminang. Kelima, ”Mowindahako” yang artinya menyerahkan pokok Adat, dilanjutnya acara pernikahan. Semua tahapan prosesi Adat disebutkan diatas, kecuali tahapan ” Metiro atau Monggolupe” diperankan Oleh “Tolea” dan Pabitara, dengan selalu ditampilkan menggunakan pranata Kalo”.
Prosedur dan Tata Cara Menggelar Acara Upacara Adat Perkawinan Tolaki.
Yang dimaksud prosedur dan tata cara disini adalah penggunaan benda Adat Kalo dalam acara upacara Adat perkawinan Tolaki. Dimana berperannya kedua pemangku Adat “Tolea” dan “Pabitara”. Posisi mereka sebagai mengatur jalannya “Mombesara”, menegakkan hukum Adat “Selewatano” atau “Tetenggona Osara” artinya sesuai urutan-urutan adat yang harus ditempuh.
Seperti apa dan bagaimana tata cara acara upacara “Mohindahako” yang diperankan kedua perangkat adat diatas ? Mereka harus tampil sukses membawa missi, tanggung jawab terletak dipundak mereka. Seperti kemampuan “Negosiasi”, cara duduk, pakaian yang digunakan, teknik berkomunikasi. Semua ini harus dikuasai secara baik, sebelum maupun sesudah acara upacara “Mewindahako”, sebabnya aturan adat itu sudah baku, tidak boleh dibolak-balik atau dilangkahi apalagi keluar dari koridor aslinya.
Selain disebutkan diatas, yang wajib dipahami adalah “isi adat” atau disebut “Polopo” untuk ditunaikan disaat “Mowindahako”. Isi adat tersebut harus lengkap tidak boleh kurang menurut “Sara”, pasti kena denda adat, malah bisa ditolak sidang pemangku adat.
Adapun wajib isi adat dipenuhi adalah 4 pokok adat (1) “Pu’uno Kasu” yang artinya isi pokok adat terdiri (1) seekor kerbau, (2) sebuah gong, (3) emas perhiasan wanita dan (4) satu pis kain kaci. Yang tiga diatas dapat disubtitusi @ dua puluh lima ribu rupiah, kecuali kain kaci tetap ditampilkan (2) “Tawano Kasu” artinya daunnya 40 buah sarung adat (3) “Ihino Popolo” artinya seperangkat alat sholat sebagai mas kawin, serta biaya pesta dan (4) “Sara Peana” artinya benda-benda adat pakaian wanita sebagai bentuk penghargaan orang tua atas pengasuhnya.
Jika seandainya dijumpai tidak terpenuhi benda-benda adat misalnya, bukan empat isi pokok Adat diatas, maka berlaku semangat kekeluargaan yaitu prinsip “Mesambepe Meambo” artinya musyawarah mufakat dimana Kalosara sebagaimana jati diri dan karakter suku Bangsa Tolaki Kalosara yaitu “Nggo Mokonggadui O’Sara” artinya semua “perlakuan” diatas yang “menggenapkan” adalah adat atau Osara.
Wanita Yang Pantang Dijadikan Istri
Barangkali hampir semua suku-suku bangsa yang ada di belahan dunia memiliki “perkawinan terlarang” ? Apalagi berbicara keberadaan suku-suku bangsa di Indonesia, sangat memahami masalah “inces tabu”, maksudnya jika terjadi perkawinan “terlarang” akan mendapat kualat, kutukan atau dosa berjamaah dari orang tua, membawa aib keluarga, bahkan rusak nama baik sekampung tersebut.
Seperti apa saja perkawinan terlarang itu ? Yaitu (1) Kawin dengan ibu kandung atau ibu tiri, (2) Kawin dengan anak kandung atau anak tiri, (3) Kawin dengan bibi kandung, (4) Kawin dengan saudara kandung. Kecuali yang sering dilanggar seperti “Mosoro Rongo” atau levirate dan sekorat. Adat perkawinan “tumutada” artinya kawin dengan saudara kandung ipar perempuan. Kawin silang, kawin dengan janda mertua atau janda menantu atau janda anak kandung.
Ketika terjadi pelanggaran kawin “Tumutada” misalnya yaitu kawin dengan saudara kandung istri dan semacamnya. Pada zaman dulu sebelum masuk ajaran agama masih dapat ditoleril, namun resikonya harus dicerai istri pertama. Kemudian jika terdapat atas pelanggaran perkawinan “Inces Tabu” diatas, maka wajib diadakan suatu upacara Adat “Mosehe” yang artinya penyucian diri dan juga menolak bala atas pelanggaran perkawinan “Musibah” tersebut (A. Rauf, 1985).
Khusus pelanggaran perkawinan terlarang yang sangat memalukan itu seperti pada poin Pertama hingga keempat diatas maka, tidak ada ampun alias kompromi. Mereka harus “dibunuh” secara diam-diam atau dibuang dari kampung atau masyarakat. Namun jaman sekarang diserahkan kepada hukum positif atau aparat penegak hukum.
Wanita paling ideal untuk dijadikan calon istri adalah sepupu sekali, sepupu dua kali, tiga kali, ini disebut kawin “Mekaputi” artinya ikat-mengikat dan lawannya kawin dengan orang lain. Apa yang melatar belakangi perkawinan “Mekaputi” semacam diatas? Kata mereka agar harta kekayaan tidak jatuh pada pihak lain dilingkungan luas, agar potensi dan integritas keluarga asal dari satu nenek moyang mereka tetap terbina dan dipertahankan.
Ketika Anggota Masyarakat Melangkahi Upacara Adat Perkawinan Tolaki
Ada lima “Model” perkawinan tidak normal baik dahulu kala maupun dewasa ini yang dikategorikan “Melanggar” hukum adat perkawinan. (1) Kawin lari alias silariang (2) Kawin sudah hamil diluar nikah (3) Kawin rampas disebut “Mombolasuako Luale (4) Kawin dilaporkan kepada orang tuanya karena sesuatu hal (5) Kawin tertangkap basah ketika sedang Indehoi atau berhubungan seks. Nah dari semua perilaku kawin tidak normal diatas, tidak bisa ditolerir harus diselesaikan secara adat. Catatan ada yang kawin resmi lewat KUA namun tidak melalui kawin Adat Tolaki disini ada perlakuan tersendiri.
Adapun cara penyelesaian adat tersebut, melalui upacara “Mesokei” artinya datang “Membentengi”, suatu upaya membujuk pihak keluarga wanita yang dipermalukan itu dengan membayar sejumlah ganti rugi. Disini pula wajib menggelar Kalosara, tujuannya mencegah perselisihan paham yang mungkin bisa berujung pertikaian diantara mereka.
Selanjutnya tujuan pelaksanaan Adat perkawinan tersebut adalah dalam mengukuhkan kedudukan “Masyarakat Hukum Adat” sebagaimana disebutkan diawal tulisan. Kemudian dikaitkan dalam penerapan hukum Adat Tolaki yang selalu ditaati anggota masyarakat yaitu sebagaimana terurai dalam falsafah puitis Tolaki, “Inae Kona Sara Iyeto Pinesara Inae Lia Sara Iyeto Pinekasara”. Artinya siapa yang menghargai adat, dia akan dihormati, siapa yang tidak menghargai adat, dia tidak akan dihormati.
Tags
Budaya